Jatuh Bangun Unsoed dalam Perjuangannya Sebagai World Class University

Sebuah kritik dan analisis

Hanan Fahrezi
26 min readSep 18, 2021
Kampus Grendeng Universitas Jenderal Soedirman. Foto: Wikimedia Commons oleh Tri Sulis Tiyani

“Dirgahayu Universitas Jenderal Soedirman. Melangkah waktu hari demi hari mengantarkan usiamu kini….”

I. Pendahuluan

Terhitung semenjak pendiriannya pada tahun 1963 silam, Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) akan menginjakkan usia 58 tahun pada Dies Natalis atau hari jadinya nanti, 23 September 2021.

Universitas ini sesungguhnya bisa dikatakan sebagai kampus yang senior. Dikenal sebagai perguruan tinggi tertua di Purwokerto (dan wilayah Eks-Keresidenan Banyumas) serta salah satu yang tertua juga di Jawa Tengah, tak ayal karena Unsoed adalah satu-satunya universitas negeri di wilayah Jawa Tengah bagian barat. Di usianya yang ke-58 ini, ketahanan Unsoed membuktikan bahwa dirinya memang berperan sebagai mercusuar pendidikan tinggi di daerahnya, dan Indonesia, mungkin juga dunia.

58 tahun bukanlah waktu yang singkat. Ada banyak sekali dinamika sosial, politik, ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang berkembang di Indonesia selama setengah abad lebih itu. Salah satu bentuk perkembangannya tentu terlihat bila kita menyaksikan dalam kacamata kemajuan perguruan tinggi di Indonesia.

Pasca-Reformasi, orientasi perguruan tinggi negeri Indonesia perlahan mulai berubah kiblat. Tidak hanya sebagai sekolah yang mencetak para sarjana, tetapi kini menjadi “perusahaan” yang mampu mengelola sumber dayanya masing-masing untuk menggelontorkan riset, teknologi, bisnis, serta memelopori pembangunan berkelanjutan.

Transformasi paradigma ini salah satunya difaktori oleh penerapan kebijakan perguruan tinggi negeri badan hukum atau PTN BH. Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), merupakan pionir awal dari konsep perguruan tinggi negeri dengan otonomi terbesar ini.

Hingga sekarang, mereka pun sukses menjadi kampus flagship yang digandrungi oleh calon mahasiswa Indonesia. Bukannya tidak mungkin, karena fenomena tersebut, kampus-kampus seperti itu seakan menjadi raja yang kebesarannya sulit untuk ditumbangkan akibat sumber daya yang dimiliki mereka sudah boleh dikatakan dewasa.

Perlahan demi waktu, kampus-kampus negeri di kota besar lain pun tidak mau kalah. Universitas Airlangga (Unair), Universitas Padjadjaran (Unpad), Universitas Diponegoro (Undip), dan kampus-kampus lain, turut mengadopsi sistem ini hingga terbukti posisi mereka dalam tangga perguruan tinggi terbaik Indonesia ikut terdongkrak naik.

Namun, memang harus disikapi dengan adil bahwa kesuksesan mereka tidak semata terjadi begitu saja karena kenaikan status otonomi. Fenomena PTN BH hanyalah katalis bagi perguruan tinggi yang sudah mapan untuk tinggal landas menjadi universitas berkelas dunia yang mandiri, seperti halnya perguruan tinggi ternama di luar negeri.

Unsoed sebagai salah satu perguruan tinggi yang besar di Indonesia pun tidak begitu saja hadir tanpa cita-cita dan rencana. Pasca-Reformasi, sejatinya Unsoed memang memiliki potensi untuk bersanding seperti halnya universitas ternama lain. Buktinya, Unsoed sempat masuk dalam daftar laporan berjudul “50 Promising Universities in Indonesia” oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) pada tahun 2007.

Pengakuan eksternal itu tentu saja disambut dengan penuh optimisme. Rektor Unsoed, Edy Yuwono, bahkan merencanakan Unsoed sebagai “world class civic university” dalam masa kepemimpinannya. Tanda-tanda getol-nya Unsoed untuk berusaha naik pamor sebagai universitas berkelas dunia memang sudah lama terlihat sejak masa-masa itu.

Akan tetapi, Unsoed sebagai salah satu perguruan tinggi yang besar dan tua di Indonesia, harus menelan pil pahit bahwa dirinya tidak mengalami nasib yang serupa dengan rekan sebayanya. Idealnya, Unsoed memang seharusnya sudah sebanding secara pengelolaan dan status dengan universitas elite di Indonesia. Namun, hal tersebut ternyata masih sekadar berupa hilal dan rencana dalam buku saja hingga sekarang.

Lantas demikian, apa yang menjadi masalah dalam pengembangan Unsoed yang membuatnya lamban untuk menjadi universitas terbaik di Indonesia, apalagi sampai berkelas dunia? Apakah solusi yang bisa menjawab masalah yang dihadapi Unsoed dengan belajar dari pengalaman perguruan tinggi lain? Artikel ini akan membahas secara mendalam terkait isu ini melalui perspektif politik, sosial, ekonomi, dan budaya.

II. Dilema Jati Diri Unsoed dan Status PTN-BH

Universitas elite yang lebih tua dari atau berdiri sezaman dengan Unsoed, sebagian besar sudah memiliki dua hal yang hingga sekarang belum dipunyai Unsoed, yakni identitas dan kemapanan kelembagaan. Mengatakan dengan mantap bahwa Unsoed sudah setara dengan perguruan tinggi tersebut sejatinya ignorant dan agak buta sejarah, sebab sepak terjang mereka bisa dikatakan lebih besar untuk mencapai ke titik establishment semacam itu.

Selain karena tingkat kedewasaan institusi yang sudah mapan, hal hoki yang dimiliki mereka adalah lahir di tempat yang strategis — berada di kota besar dan daerah aglomerasi dengan perputaran ekonomi dan sosial yang kencang. Daya dukung manusia yang sangat baik ini membuat universitas tersebut mampu tumbuh secara eksponensial.

Tidak jarang, universitas dan kota sering diungkapkan lewat sinekdoke. Misalnya, UGM dan Yogyakarta. Ketika seseorang berkata bahwa dirinya berkuliah di UGM, sudah pasti ia di Yogyakarta. Sebaliknya, ketika berkata dirinya berkuliah di Yogyakarta, gambaran psikis orang akan langsung menjurus ke UGM. Kedua elemen ini berhubungan erat dan memungkinan mereka untuk bertumbuh satu sama lain. Hal inilah yang menjadi pijakan dari identitas dan kemapanan yang dimaksud itu. Seiring berjalannya waktu, orang-orang akan gandrung pada universitas yang bermutu ini.

Namun, di sinilah posisi universitas di kota kecil “antah berantah” menerima ampasnya. Unsoed? Kemungkinan besar hanya warga Jawa Tengah dan orang-orang berpengetahuan luas yang kenal betul. Syukur-syukur bila mereka tahu Unsoed itu berkedudukan di Purwokerto, Kabupaten Banyumas. Jangankan Purwokerto, terkadang nama Banyumas sendiri kerap disandingkan sebagai wilayah kabupaten obscure (kurang terkenal) yang disejajarkan dengan kawasan desa yang tak menarik.

Kita memang tidak boleh menafikan fakta bahwa ada banyak tokoh berprestasi mentereng yang merupakan alumni dari kampus ini yang menjadi bukti bahwa Unsoed itu masih cukup terpandang. Namun demikian, tak bisa disangkal bahwa Unsoed belum bisa dikatakan sebagai universitas dengan identitas yang kuat, apalagi dalam hal kemapanan.

Berbeda dengan impresi yang diberikan UGM dan Yogyakarta, seperti pada contoh sebelumnya, tidak mudah untuk menjual Unsoed dan Purwokerto dengan padu padan. Ini mengingat realitas bahwa animo calon mahasiswa masih terpaku pada kebanggaan nama almamater beserta keunggulan yang dimiliki, kemajuan kota di mana kampus tersebut berada, dan ekspektasi tinggi dari kehidupan mahasiswa yang diharapkan. Tiga hal yang tidak ada, atau setidaknya kurang dari duo Unsoed dan Purwokerto.

Hal itu tidak bisa disalahkan kepada Unsoed begitu saja tanpa kebijaksanaan. Unsoed sendiri secara kelembagaan belum diberikan kewenangan untuk bertindak mandiri seperti halnya pada kampus PTN BH. Sebagai PTN BLU (badan layanan umum) atau “kampus negeri kelas dua”, kampus ini tidak serta-merta dapat mengelola dirinya dengan lebih leluasa agar mampu memenuhi tuntutan zaman dan kebutuhan masyarakat di era modern. Tidak seperti PTN BH yang bisa membuka program studi dan unit pendidikan dengan leluasa serta mengelola keuangan dan usaha sebebas-bebasnya, PTN BLU tidak.

Saat ini, program studi (prodi) ilmu pendidikan Unsoed masih menginduk ke fakultas lain secara tercecer tanpa memiliki fakultas sendiri. Prodi D-3 Unsoed juga belum memiliki unit pendidikan terpisah seperti sekolah atau fakultas vokasi di PTN lain. Padahal kenyataannya, ilmu akademik dan vokasi adalah dua dunia yang berbeda dan dikotomi ini bahkan sudah diakui oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sejak lama.

Apalagi membuka prodi baru yang mendobrak konvensi di dunia perguruan tinggi Indonesia? Unair mungkin memiliki prodi yang mbois (keren) seperti Rekayasa Nanoteknologi. Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) punya prodi Manajemen Industri Katering. UI punya prodi Kriminologi. Institut Teknologi Sumatera (Itera) punya prodi Sains Atmosfer dan Keplanetan. Umumnya, kehadiran prodi seperti itu juga berguna untuk mewakili identitas dari perguruan tinggi itu sendiri, yakni esprit de recherche mereka.

Prodi-prodi unik itu kerap digaungkan oleh kanal media pendidikan sebagai sebuah keunggulan yang memberikan mereka distingsi. Pendek kata, kampus-kampus itu berani beda. Sementara itu, bagaimana dengan prodi-prodi yang ada di Unsoed? Hampir semuanya sudah lama diselenggarakan di universitas lain alias bukanlah sesuatu yang unik.

Sebagai cerminan dari visinya yang hendak mengembangkan sumber daya perdesaan dan kearifan lokal, Unsoed bisa saja memiliki potensi membuka jurusan yang menjawab visi tersebut bila mempunyai otonomi itu. Keren rasanya bila nama Unsoed dikenal karena memiliki program studi Pembangunan Perdesaan (Rural Development), Kesehatan Perdesaan (Rural Health), dan Manajemen Sumber Daya Kebudayaan (Cultural Resource Management). Prodi-prodi seperti ini sejatinya sudah cukup lama ada di perguruan tinggi luar negeri.

Atau mau yang lebih unik, Bahasa dan Kebudayaan Banyumasan (dialek bahasa Jawa dan subetnis dari suku Jawa) akan membantu melanggengkan budaya Banyumas yang terkenal akan bahasa Ngapak-nya dan kultur masyarakat yang cablaka (bersifat terus terang) ini. Gebrakan ini tentu akan menantang hegemoni budaya Jawa Surakarta-Yogyakarta dalam dunia pendidikan tinggi, di mana studi kejawaan hingga kini masih merujuk pada standar yang ditetapkan oleh Mataram.

Bila Unsoed memiliki kekuatan dan kesiapan untuk membuka prodi seperti ini, terdapat nilai sejati yang mendongkrak nama Unsoed sebagai si “universitas pemberdaya perdesaan dan kearifan lokal” sekaligus pelestari budaya Banyumas, sesuai dengan janji yang disematkan dalam visi keunggulannya, bukan sekadar bahasa marketing saja.

Dengan demikian, pengembangan sumber daya perdesaan tidaklah lagi menjadi hal yang ndeso dan dipandang sebelah mata. Unsoed akan memegang marwah dan kehormatan sebagai garda terdepan dalam perkembangan hayat masyarakat desa. Lagipun, sepanjang melirik sana-sini, sepertinya belum ada universitas lain di Indonesia yang secara terang-terangan memiliki visi semulia Unsoed. Kalau sudah ada hal pembeda begini, lalu ingin menunggu apa lagi?

Namun, dunia memang tidak bekerja semudah buku dongeng dengan ibu peri dan tongkat ajaibnya. Ada ongkos dan pengorbanan besar untuk mewujudkan hal yang visioner seperti itu. Gampangnya, semua itu butuh duit. Satu hal yang lebih kurang belum hadir di Unsoed. Sebatas menjaga dapur tetap menyala saja sudah syukur, bagaimana jika harus menjadi trendsetter baru di pergaulan universitas beken?

Itulah sepertinya alasan mengapa solusi PTN BH hadir dan sengaja didorong oleh pemerintah. Selain agar pemerintah bisa mendukung paradigma baru dalam dunia akademik, yaitu otonomi pendidikan (bahasa halus untuk “pemerintah agar sedikit lepas tangan dari mandat UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa”), universitas juga bisa bergerak sendiri dan proaktif dalam pembangunan institusi dengan kerja sama multilateral dan multidimensional, tidak lagi harus disusukan oleh negara.

Akan tetapi, andaipun suatu saat Unsoed menjadi PTN BH, universitas ini nyatanya belum memiliki sumber daya yang memadai untuk bisa mencapai ke tahapan tersebut. Universitas lain yang sudah menyandang predikat PTN BH sejak lama memiliki visi yang berkelanjutan, bahkan sudah dipersiapkan sedemikian rupa sehingga ketika mereka menjadi badan otonom yang matang, mereka sudah memiliki sumber pemasukan yang mantap.

Sebagai contoh, IPB memiliki perusahaan holding bernama PT Bogor Life Science and Technology (BLST) yang mengendalikan beberapa unit usaha milik IPB. Salah satu hal fantastis dari holding IPB ini adalah kepemilikan entitas Botani Square, sebuah mal besar di bilangan Kota Bogor yang beroperasi sejak tahun 2006, yang di dalamnya terdapat pula sebuah pusat MICE (meetings, incentives, conferences and exhibitions) bernama IPB International Convention Center.

Apakah Unsoed tidak punya analog seperti itu? Ya dan tidak juga, sebab Unsoed sebagai PTN BLU juga memiliki kewenangan dalam membuka dan mengelola usaha, walau hanya dengan sedikit batasan tertentu, ibaratnya kandang sudah dirobohkan, tetapi masih dipasangi kalung anjing oleh pemerintah.

Walaupun Unsoed sendiri sudah naik kelas menjadi PTN BLU pada tahun 2009 silam, dalam rentang waktu selama itu hingga sekarang, unit usaha yang dimiliki Unsoed masih jauh dari kata memadai. Beberapa unit usaha Unsoed hanyalah sebatas bisnis berskala sedang yang masih bergerak dalam usaha produk (yang juga hadir berkat kerja sama perusahaan mitra) dan pemanfaatan aset eksisting.

Sebut saja seperti usaha peternakan Unsoed yang jelas-jelas merupakan hadiah hasil hubungan baik dengan perusahaan industri peternakan Indonesia. Lalu, penyewaan gedung Graha Widyatama sebagai venue besar untuk perhelatan, konser, seminar, pertemuan, dan pernikahan di Purwokerto. Di universitas lain, model bisnis seperti itu sudah dijalankan sejak lama. Selebihnya, Unsoed belum memiliki unit usaha yang menjanjikan agar dirinya bisa sustain sebagai badan hukum yang otonom di masa depan.

Perubahan status Unsoed dari PTN BLU menjadi PTN BH tentunya akan memberikan kekhawatiran ketika suatu saat Unsoed memilih jalur ekstrem yang selalu diwanti-wanti publik sebagai hal negatif nomor satu dari PTN BH, yakni mencari dana dengan memeras mahasiswa melalui uang kuliah tunggal dan uang gedung yang mahal. Kondisi ini sejatinya tidak hanya terjadi di Unsoed saja, kampus lain sudah melakukan hal serupa sejak lama, yang turut diimbangi dengan bisnis yang lukratif dan kemapanan lembaga dan infrastruktur sehingga membuatnya masih masuk di akal.

Akan tetapi, ketika Unsoed belum memiliki fondasi yang menjadi tujuan utama PTN BH, yakni kemampuan mencetak uang secara mandiri seiring dengan berkurangnya subsidi pemerintah, maka ini justru akan memperburuk citra Unsoed dan menjauhkannya dari niat awal PTN BH yang menginginkan diversifikasi pendapatan dan mengurangi ketergantungan pada dana pendidikan, bukannya dengan easy money dari mahasiswa.

Belum lagi ketika menimbang bahwa Unsoed masih memiliki banyak PR kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi. Jika begitu jadinya, Unsoed harus punya alasan yang bisa diterima mahasiswa, calon mahasiswa, dan publik bahwa harga dan pengorbanan untuk bisa bersekolah di Unsoed itu sepadan, yang lagi-lagi juga merupakan persoalan yang sulit.

III. Situasi Multikampus yang Menyedihkan

Kondisi yang menyebalkan dari universitas ini adalah kampusnya yang berceceran layaknya cermin yang jatuh ke tanah. Hal tersebut sebetulnya bukanlah masalah yang baru dalam sejarah pembangunan kampus universitas negeri di Indonesia.

Universitas Indonesia pernah mengalaminya. Lokasi Kampus Rawamangun dan Salemba dirasa terlalu jauh satu sama lain, belum lagi ketika menyadari bahwa kedua kampus ini punya masalah yang sama, yakni sempit dan padat untuk sebuah universitas kebanggaan nomor satu negara ini. Padahal namanya saja Universitas Indonesia, bukan Jakarta.

Oleh karenanya, usulan proyek pembangunan kampus terpadu di Depok oleh Rektor UI, Mahar Mardjono pada zaman Presiden Soeharto, menjadi solusi yang sangat masuk akal bagi UI. Pemindahan ini turut menjadikan Kampus Depok sebagai ikon dari UI itu sendiri.

Universitas Padjadjaran (Unpad) pun juga pernah. Gedung-gedung lama Unpad tersebar di wilayah perkotaan Bandung dan beberapa menginduk di Kampus Dipati Ukur yang kini khusus menjadi kampus pascasarjana. Sebelumnya, kawasan sekitar Dipati Ukur mengalami urbanisasi yang membuatnya padat akan perumahan dan tidak mungkin untuk dikembangkan jadi kampus utama.

Wacana pemindahan kampus pun tidak terelakkan, tetapi tidak lepas dari tantangan juga. Tanah di perkotaan Bandung terlalu padat dan mustahil dibongkar untuk membuka lahan bagi kampus terpadu yang luas sehingga memindahkan Unpad ke Jatinangor, Kabupaten Sumedang (alias Bandung coret) pun menjawab masalah pertanahan tersebut.

Pemindahan kampus ini juga tidak tanpa rancangan, Rektor Unpad, Hindersah Wiraatmadja, menggagas ide untuk menyalin konsep Kota Akademik Tsukuba, Jepang, yang di dalamnya terdapat Universitas Tsukuba, dengan membangun Kampus Jatinangor yang dinamai sebagai Kota Akademik Manglayang dengan Unpad di dalam, sebagai kembarannya.

Apakah masalah ini juga terjadi pada universitas di Jawa Tengah? Oh, tentunya kita dapat menyimak situasi Universitas Diponegoro (Undip) di masa lampau. Perkembangan Undip yang pesat bersamaan dengan kondisi kecilnya Kampus Pleburan, Semarang bagian bawah, yang harus menampung banyak mahasiswa, mengharuskan Undip untuk pindah.

Pada akhirnya, dipilihlah kawasan di Tembalang, Semarang bagian atas, yang mendukung pembangunan gedung menjadi lebih mudah dikelola, terintegrasi, dan tidak mengganggu rencana tata letak jangka panjang. Undip di masa kini pun juga dikenal sebagai universitas terkemuka di Indonesia dengan salah satu penataan kampus yang sangat baik.

Fakta ini akan menjadi ironis dan mau tidak mau akan membuat warga akademik Unsoed sakit hati, ketika menyadari bahwa Undip dan Unsoed, dua universitas negeri di Jawa Tengah dengan jarak pendirian yang hanya terpaut 6 tahun, 1957 berbanding 1963, memiliki kenampakan tubuh kampus yang se-jomplang itu. Apa jangan-jangan daya dukung kampus ternyata berpengaruh sebesar itu pada kemajuan universitas? Silakan renungkan sendiri.

Entah apa dan siapa yang membuat lembar desain tata ruang Unsoed sehingga pembangunan kampus terasa kurang terencana dalam jangka panjang. Kampus utama Unsoed di Grendeng, Purwokerto Utara, merupakan kompleks sempit dengan bangunan tua peninggalan fakultas-fakultas pendahulu yang kini ditempati oleh Rektorat, Pusat Administrasi, beberapa lembaga Unsoed, dan rumpun ilmu sosial dan humaniora, kecuali Fakultas Ilmu Budaya (FIB).

Kampus Grendeng dengan segala kelebihan dan kekurangannya sebagai kampus utama, tidak lepas dari kritikan pula. Banyak mahasiswa Unsoed yang bersaksi bahwa Grendeng adalah potret nyata dari ketimpangan pembangunan di tubuh Unsoed. Tidak aneh karena Rektor dan pejabat Unsoed memang berkantor di sini, wajar kalau Grendeng dipelihara sebegitu baiknya sebagai wajah Unsoed.

Namun bagi mahasiswa Grendeng, kampus ini juga tidak terasa semenyenangkan itu karena fasilitas strategis Unsoed tidak berkedudukan di sini, seperti Stadion Gelora Soesilo Soedarman, Asrama Wisma Soedirman, Pusat Kegiatan Mahasiswa, dan Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan (RSGMP) Unsoed.

Jika demikian, apakah Unsoed mesti mengintegrasikan kampusnya seperti contoh di paragraf-paragraf sebelumnya? Sebenarnya, pada era Rektor Raden Djanuar, Unsoed juga mengalami “pemindahan” kampus yang serupa dengan kampus lain, yang ditandai dengan pembebasan lahan dan relokasi beberapa fakultas ke Karangwangkal, Purwokerto Utara, yang hanya berjarak sekian meter ke arah tenggara dari Grendeng.

Namun demikian, entah mengapa Kampus Karangwangkal sendiri hingga sekarang malah terkesan sebagai kampus yang tanggung. Luasnya tidak bisa dibilang besar atau kecil, tetapi sebenarnya mendukung bila diniatkan dan diperluas sedemikian rupa untuk menjadi kampus utama.

Andaikata jika terkabul pun, anehnya Unsoed malah memutuskan untuk melanjutkan Grendeng — dan pada tahun 2004, ketika era Rektor Rubijanto Misman, Unsoed melakukan keputusan radikal dengan membangun fakultas di kabupaten yang berbeda, yakni Fakultas Teknik (FT) di Blater, Kabupaten Purbalingga. Ya, bukan beda kelurahan, kecamatan, atau kota lagi, melainkan kabupaten.

Bagi sebagian orang, keputusan ini sebetulnya aneh, karena melawan semangat universitas di Indonesia pada saat itu yang merencanakan integrasi, bukan segregasi. Rubijanto sendiri juga pernah mengakui bahwa keputusan Unsoed untuk membangun Fakultas Teknik di Purbalingga mendapat teguran dan peringatan dari kementerian.

Kampus Karangwangkal, kampus terbesar Unsoed yang kini sebagian besar menjadi tempat bagi rumpun ilmu sains dan teknologi, lembaga universitas, dan banyak lahan praktik atau laboratorium Unsoed, yang seharusnya disiapkan tata ruangnya sejak masih berbentuk tanah kosong, malah justru menghadapi masalah yang membuat banyak warga akademik pusing, yakni penataan ruang yang buruk.

Kampus Karangwangkal yang seharusnya dikondisikan sebagai kawasan controlled zone yang bebas dari gangguan interaksi dari luar universitas, malah dipotong oleh jalan kabupaten, yakni Jalan Dr. Soeparno, yang membuat batas khayal dan fisik antara kampus dan luar kampus menjadi hilang. Area sempadan Unsoed dengan luar kampus di kawasan Karangwangkal juga tidak diblokir dan diberikan batas kewilayahan tata ruang tersendiri seperti halnya kampus lain.

Hal ini membuat kampus Karangwangkal secara teknis rentan dan mudah diinfiltrasi keamanannya. Padahal banyak properti strategis milik Unsoed, seperti rumah sakit, peternakan, perkebunan, asrama, dan fasilitas penting yang harus dijaga ketat dari kemungkinan gangguan atau intervensi yang tidak diinginkan.

Tidak hanya begitu, di bagian periferi Karangwangkal, yang seharusnya sejak awal dijaga ketat dari urbanisasi dan gentrifikasi, justru mengalami sprawl akibat munculnya perkampungan dan entitas bisnis dan sosial yang ramai manusia seperti restoran, masjid, perumahan swasta, kos-kosan, tempat hiburan, dan lain sebagainya. Hal ini membuat Karangwangkal seolah dikepung dari luar dan membuat visi pembangunan kampus terpadu menjadi gagal dan mustahil.

Beralih dari masalah penataan ruang secara eksternal, penataan ruang universitas secara internal di Karangwangkal nyatanya malah tidak jelas arahnya, sebab fakultas yang ada di Karangwangkal juga turut mengalami segregasi kampus. Ibaratnya, ketika Unsoed sendiri sudah terpecah, unit-unit di bawah Unsoed juga terpecah. Hal ini terjadi karena tidak semua fakultas, rumpun, atau lembaga berada di lokasi yang terintegrasi.

Contohnya, kampus utama Fakultas Kedokteran (FK) letaknya jauh di Mersi, Purwokerto Selatan, mepet di belakang kompleks Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Prof. Dr. Margono Soekarjo sebagai rumah sakit pendidikan mitra. Jurusan Kedokteran Gigi dan Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan (RSGMP) Unsoed yang menjadi salah satu unit di bawah FK malah nangkring sendirian di Karangwangkal, terpisah dari fakultas induknya yang berada di kecamatan yang berbeda.

Dahulu, ketika Fakultas Teknik masih dikenal sebagai Jurusan Teknik Fakultas Sains dan Teknik (FST), alias masih berupa departemen di bawah fakultas, masalah ini juga sangat menganggu ketika mahasiswa Teknik harus menanggung fakta menyebalkan bahwa secara administratif FST berada di Karangwangkal, tetapi Jurusan Teknik mereka di Purbalingga. Walau kini dekanat dan administrasi fakultas mereka sudah kompak di Blater, tetap saja kesan disconnectedness tersebut masih hadir hingga sekarang.

Keputusan untuk menaruh jurusan tersebut, yang kini telah menjadi fakultas, di Purbalingga, selalu memberi kesan bahwa FT dianaktirikan. Dengan sekilas, orang-orang mungkin akan mengira FT Unsoed itu adalah sejenis PSDKU (program studi di luar kampus utama), bahkan mungkin sepenuhnya mengira bahwa Unsoed tidak punya fakultas teknik bila tidak diberi tahu sama sekali. Terkadang, calon mahasiswa juga kerap berasumsi bahwa FT itu berkedudukan di Purwokerto. Yang nahas, biasanya baru disadari ketika mereka sudah telanjur masuk dan bayar uang kuliah. Alhasil, muncul kekesalan karena merasa diasingkan dari pusat.

Dari penjabaran panjang ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa baik mahasiswa di Kampus Grendeng, Karangwangkal, Mersi, dan Blater memiliki keluhan yang sama, yakni segregasi yang menyulitkan mobilitas dan aktivitas akademik.

Bukan hanya tata letak dan jarak, ukuran gedung-gedung Unsoed juga tergolong kecil bila dibandingkan dengan universitas lain yang gedungnya cenderung lebih bongsor. Hal ini membuat kapasitas mahasiswa dan akomodasi fasilitas menjadi sangat kurang. Kondisi ini berpengaruh pada jumlah mahasiswa Unsoed yang masih bertengger pada angka 20 ribuan saja. Berlainan dengan kebanyakan universitas yang sudah jebol pada angka 30-50 ribu.

Kesadaran Unsoed terhadap pentingnya pemeliharaan identitas arsitektur dan wujud fasad bangunan juga sangatlah rendah, boleh dikatakan abai. Kebanyakan kampus di Indonesia sudah memiliki standar dan perhatian yang tinggi terhadap muka gedung dan surrounding yang ada di sekitarnya untuk menjaga estetika.

UI mewarisi arsitektur vernakuler Indonesia dengan gedung berbata merah dan atap genting berwarna cokelat untuk menciptakan suasana yang selaras dengan setting kampus sekaligus hutan kota tersebut. Sekilas, banyak gedung pelopor di kampus UI yang memang terlihat seperti rumah yang sederhana di perdesaan.

UGM memiliki desain bangunan berwarna netral dan serbaputih dengan fasad bercelah atau terbuka untuk ventilasi dan pencahayaan matahari serta dipadankan dengan arsitektur Jawa seperti yang terlihat pada gedung-gedung fakultas dan Auditorium Grha Sabha Pramana.

Universitas Andalas (Unand) memiliki arsitektur rumah bagonjong khas Minangkabau yang dipadukan dengan konsep brutalisme atau semen terekspos, bahkan membuatnya dijuluki sebagai “kampus Rangers” karena gedungnya yang tajam dan monoton itu dikatakan mirip dengan markas Power Rangers, serial televisi adiwira asal Jepang.

Sedangkan Unsoed? Kebanyakan bangunan utama memiliki kondisi yang miris untuk ukuran sebuah kampus besar yang berdiri sejak tahun 1963. Jangankan arsitektur atau fasad, konstruksi bangunan di Unsoed banyak sekali yang serupa dengan sekolah negeri, bahkan lebih jelek. Hal ini tidak mengada-ngada, sebab tidak jarang mahasiswa Unsoed atau warga lokal Purwokerto menyamakan kondisi gedung Unsoed dengan “SD Inpres”. Kurang lebih, komparasi tersebut terlalu ironis dan merendahkan martabat Unsoed sebagai perguruan tinggi nasional. Unsoed itu kan universitas, masa bisa-bisanya disamakan dengan sekolah dasar?

Tidak adanya perhatian terhadap keselarasan tata ruang dan estetika seperti ini membuat lingkungan kampus terasa berantakan dan tidak menyambung satu sama lain. Dampaknya, Unsoed secara fisik juga menjadi sulit untuk dikenali. Keluhan ini bisa dideskripsikan dengan sebuah skenario fiksi. Ketika orang awam ditunjukkan gambar gugusan gedung tinggi dengan sebuah bundaran jam di tengahnya, maka sebagian besar orang kemungkinan bisa menebak bahwa itu adalah Universitas Brawijaya (UB). Lalu, ketika orang ditunjukkan gambar gedung kembar beratap rumah tradisional Batak yang di tengahnya ada pancuran air, orang pasti akan menjawab dengan mantap bahwa itu adalah Institut Teknologi Bandung (ITB).

Skenario itu akan sulit untuk diterapkan pada Unsoed sebab kenampakan kampus yang miskin identitas dan pemeliharaan ini membuatnya sulit dikenali secara simbolis. Patung Kuda Jenderal Soedirman adalah satu-satunya landmark yang menjadi simbol khas dari Unsoed. Padahal, itu hanyalah elemen dekoratif kecil yang memiliki padanan dengan objek lain. Tidak banyak orang mampu mengimajinasikan wujud kampus Unsoed di kepala, sebab mereka tidak tahu apa yang menjadi ciri khas dari Unsoed.

Bila Gedung Rektorat UI yang menjulang tinggi, Crystal of Knowledge atau perpustakaan pusat sebagai mahakarya arsitektur hijau dari kampus Indonesia, lengkap dengan Danau Kenanga yang Instagrammable menjadi ikon UI yang dikenal masyarakat umum, maka Laboratorium Terpadu Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unsoed dengan tujuh lantai berbentuk gedung kantor biasa adalah satu-satunya bangunan ekuivalen yang dimiliki Unsoed hingga saat ini yang memenuhi bare minimum kategori gedung kampus yang megah, keren, dan ikonik.

Kondisi kampus yang dialami Unsoed sebenarnya masih bisa ditemui di masa sekarang, bahkan di kampus elite seperti Universitas Airlangga (Unair). Bila berkaca pada kasus Unair yang memiliki Kampus A, B, dan C, keadaan mereka masih bisa ditoleransi karena jaraknya hanya berbeda satu hingga dua blok dan didukung oleh angkutan kampus. Selain itu, pejabat Unair juga lebih tanggap dalam mengatasi ketimpangan yang terjadi di lingkungan kampus Unair.

Unair masih dihadapkan masalah tata ruang berupa krisis lahan parkir dan gedung kuliah akibat kampusnya yang relatif kecil untuk ukuran universitas sebesar Unair. Kini, sedang diakali dengan pembangunan gedung parkir, gedung pencakar langit, dan gedung baru di Kampus B. Ini juga dilakukan untuk mengimbangi pembangunan antara Kampus B dengan Kampus C, kampus sentral mereka yang lebih maju. Tindakan ini sepertinya sudah cukup untuk mengompensasi masalah ketimpangan Unair.

Maka demikian, konsep multikampus akan terasa masuk akal jika pembangunan dibuat merata. Jika Unsoed tetap memilih untuk melanjutkan multikampus, harus ada komitmen untuk membangun situasi kampus yang lebih berkeadilan. Akan tetapi, hal tersebut masih belum ada tanggung jawabnya sejak dulu. Nyatanya, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), fakultas yang jelas-jelas menjadi muka depan dari Unsoed, sering diperolok karena bangunan cagar budaya (baca=jadul) peninggalan fakultas lain, baru mengalami renovasi besar di tahun 2020.

Kampus Karangwangkal juga sering disinggung oleh mahasiswa karena bangunan fakultas yang kurang representatif dan serampangan, banyak gedung fakultas yang terputus oleh jalan dan tidak dibangun dengan komplet, terpadu, dan ringkas; pencahayaan minim yang membuat suasana malam hari terasa seram dan rawan kejahatan; dan kondisi jalan berlubang yang gradakan tanpa adanya markah jalan, trotoar, dan jalur pedestrian. Sampai tulisan ini dibuat, masalah yang menghambat kegiatan, keamanan, dan keselamatan itu, masih belum ditangani oleh pihak universitas.

Lalu, bagaimana kabar kampus FT Unsoed di Blater, Purbalingga? Entahlah. Apa yang terjadi di sana adalah misteri.

Danau Kenanga UI dengan Rektorat, Perpusat dan Balairung. Foto: Wikimedia Commons oleh Nurind

Keberadaan kampus terpadu akan membentuk stigma positif bahwa sebuah kampus memiliki integrasi antarfakultas yang maksimal. Ini akan membuat kesan bahwa sebuah universitas bekerja layaknya makna asli dari universitas di zaman kuna, yakni sebuah komunitas perguruan yang bersatu-padu sebagai anggota tubuh yang menopang universitas itu sendiri, bukannya menjadi unit-unit pendidikan terdesentralisasi yang berjalan autopilot bak kerajaan kecil dan mengabaikan alasan utama mengapa mereka hadir pada awalnya, yakni sebagai akar dari universitas itu sendiri.

Kampus UI misalnya, yang memperkenalkan sistem perumpunan disiplin ilmu — Rumpun Ilmu Kesehatan (RIK), Sains dan Teknologi (Saintek), dan Sosial dan Humaniora (Soshum). Adanya harmonisasi antardisiplin ilmu ini akan membuat kolaborasi fakultas menjadi mudah dan gencar. Selain itu, di perguruan tinggi luar negeri, seperti Universitas Harvard, sekolah-sekolah didorong untuk saling berinteraksi sehingga membuat kegiatan akademik, riset, kolegium, atletik, politik, dan sebagainya, menjadi kompak.

Adanya kampus terpadu juga membuat mobilitas dan aktivitas warga akademik menjadi mudah dan mewujudkan visi kampus hijau yang kerap menjadi jargon jualan para elite perguruan tinggi di Indonesia. Akses menuju fasilitas di kampus pun akan terasa lebih adil. Perpustakaan dapat dinikmati oleh semua mahasiswa karena lokasi yang dekat. Berobat ke poliklinik tidak perlu berkendara lama, cukup jalan kaki dan naik bus kampus saja. Mau sowan dan demo ke gedung rektorat menjadi asyik karena lebih mudah untuk mengumpulkan massa. Ingin beribadah ke masjid kampus juga tinggal melangkah setangkai dua hasta.

Ada usulan? Bangun kampus yang baru. Terpaksa. Rasanya tidak adil jika universitas lain saja mampu memiliki kampus terpadu. Alasan normatif seperti ketidaksiapan kelembagaan atau finansial akan menjadi tanda tanya, sebab kampus yang berdiri sezaman dengan Unsoed saja sudah selesai melakukan relokasi sejak lama. Ke mana saja Unsoed selama ini?

Bahkan, kampus terpadu Universitas Sebelas Maret (UNS) di Kentingan, Surakarta saja dibangun tidak lama setelah ia berdiri pada tahun 1975 silam, prestasi hebat bagi kampus yang usianya lebih muda sekian tahun dari Unsoed. Sekarang, banyak pula universitas yang berusaha mengejar jejak yang sama, seperti Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) yang baru saja meresmikan kampus terpadu di Sindangsari, Banten, karena kampus lamanya di Cilegon dan Serang sudah kurang memadai.

Lagipula, kesempatan itu akan mujur bila kampus lama dimanfaatkan untuk membuat perguruan tinggi baru atau sekolah binaan Unsoed. Bayangkan betapa serunya bila Unsoed memiliki rival baru seperti Institut Teknologi Purwokerto atau Universitas Negeri Purwokerto yang lahir dari rahimnya sendiri, hitung-hitung di Jawa Tengah bagian barat masih belum ada perguruan tinggi semacam itu.

Keberadaan perguruan tinggi baru ini akan memberikan Unsoed sebuah pairing seperti halnya perguruan tinggi di kota-kota lain, seperti Universitas Padjadjaran (Unpad)-Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Airlangga (Unair)-Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Universitas Gadjah Mada (UGM)-Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), dan sebagainya.

Perguruan tinggi negeri di Purwokerto akan menjadi lebih ramai, seperti halnya Bandung, Surabaya, Malang, yang dalam satu kota saja bisa memiliki 3–4 perguruan tinggi negeri, yang tentunya akan memberikan efek coat-tail pada ekonomi Purwokerto dan Kabupaten Banyumas.

Atau bagaimana bila ingin dimanfaatkan sebagai Sekolah Pascasarjana Unsoed sebagaimana Undip dengan Kampus Pleburan? Ya, boleh-boleh saja. Sebutkan sajalah segala kemungkinan yang bisa terjadi.

Dengan adanya kampus terpadu, Unsoed akan memiliki nilai mutu tinggi karena interkonektivitasnya lebih intensif. Syukur-syukur akan berpotensi menjadi kampus elite menyusul UI, setidaknya menyaingi kampus menengah atas lainnya.

Toh, rata-rata universitas elite juga melahirkan kampus anakan bukan? Misalnya, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UI menjadi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unpad menjadi UPI, Fakultas Sastra Unair menjadi Universitas Udayana (Unud), Fakultas Pedagogi UGM menjadi UNY.

Kampus-kampus anakan tersebut juga kini mulai membuat unit pendidikan filial, seperti UPI, UNY, dan UNS dengan kampus cabangnya, yang suatu saat bisa saja menjadi perguruan tinggi mandiri. Kalau begitu, bukankah ini kesempatan emas bagi Unsoed untuk mengejar jejak yang sama?

IV. Alpanya Branding dan Sinergi dalam Pikiran Unsoed

Selain dalam faktor fisik, masalah lain yang dihadapi oleh Unsoed juga ada dalam faktor nonfisik, yakni kurangnya kecakapan Unsoed dalam membentuk branding dan sinergi dengan entitas lain.

Masih melengkapi bab-bab di bagian awal, Unsoed kurang gencar dalam membangun branding baik sebagai upaya untuk menyerok calon mahasiswa baru dalam ajang SNMPTN dan SBMPTN. Nilai jual Unsoed hingga sekarang masih sama seperti halnya kampus medioker yang dijadikan sebagai pilihan terakhir, yakni “yang penting negeri”.

Pembentukan citra inferior ini akan membuat Unsoed sulit memiliki nama yang kuat di antara jajaran kampus besar lain karena petinggi-petinggi Unsoed sendiri yang lalai dalam menyusun fondasi kekuatan Unsoed sehingga memberikan kesan kampus ini adalah last resort (upaya terakhir) bagi calon mahasiswa yang gagal diterima di kampus negeri peringkat teratas, dengan kata lain, buangan.

Harusnya, Unsoed mencontoh UB yang berhasil lepas dari stigma “kampus buangan” ini karena menjual nilai Malang dan dibantu dengan banyaknya kuota mahasiswa yang disediakan. Benar, Anda tidak salah dengar. Sampai dua dekade terakhir, universitas yang sempat dikenal sebagai Unbraw ini memang memiliki citra jelek sebagai kampus medioker karena banyaknya mahasiswa tendangan asal Jabodetabek yang gagal menembus kampus elite. Sekarang, bolehlah dikatakan sebagai kampus favorit pilihan nomor satu.

Itu karena UB sendiri yang visioner dan melihat celah stigma “kampus alternatif sejuta umat” ini sebagai blessing in disguise. Manfaatkan saja sekalian borok itu sehingga UB dianggap publik sebagai kampus yang mudah dimasuki. “Kalau sudah ramai mahasiswa, otomatis kan jadi ladang duit. Sebagai imbalannya, maka kita beri mereka pelayanan sebaik mungkin”. Mungkin begitu deskripsi sederhana dari strategi branding mereka. Hingga sekarang, UB pun masih bertahan dengan keunggulannya sebagai kampus dengan daya tampung yang super duper besar dan gedung serta fasilitas yang mewah, bahkan ibarat kota di dalam Kota Malang itu sendiri.

Bila mahasiswa UB saja pernah disindir sebagai “mahasiswa tendangan kampus top”, bagaimana mahasiswa Unsoed menghadapi stigma yang sama karena tidak adanya kesan mutu yang dibangun melalui rasa kepunyaan (sense of belonging) dan rasa kebanggaan (sense of pride) yang kuat sebagai kampus berkualitas?

Stasiun Purwokerto. Foto: Wikimedia Commons oleh Rio Adhitya Cesart

Kurangnya branding ini juga akan berpengaruh pada psikologis masyarakat akibat kampus ini yang tak dikenal secara luas. Ketika suatu perguruan tinggi tidak dikenal dan tidak digandrungi, ia akan menjadi miskin sumber daya. Hal ini menyebabkan jumlah mahasiswa Unsoed kurang banyak dan sedikit menjaring mahasiswa berpotensi tinggi yang cenderung terkonsentrasi di kampus elite.

Kurangnya popularitas ini juga membuat tidak adanya budaya populer dan identitas yang mampu diberikan oleh Unsoed. Orang-orang menggambarkan UGM dengan mahasiswa yang berkepribadian ulet dan merakyat, UI dengan mahasiswa yang urban dan bergaya, dan ITB dengan mahasiswa yang nerdy dan genius. Sementara Unsoed? Kemungkinan besar orang tidak tahu seperti apa mahasiswa Unsoed.

Interaksi dan hubungan Unsoed dengan Purwokerto sebagai kota naungannya juga boleh dikatakan kurang maksimal. Padahal, perguruan tinggi dan kota sebagai tuan rumahnya ibarat jantung dan hari yang saling membutuhkan. Dalam dunia akademik di luar negeri, hal ini dikenal sebagai town and gown relationship.

Misalnya, New York University (NYU), Amerika Serikat, yang mem-branding dirinya dengan slogan “the city is your campus”, sungguh percaya diri sampai menyetarakan kota New York sebagai NYU itu sendiri. Hal ini sebetulnya bisa dimaklumi, sebab interaksi antara NYU dan New York memanglah kompak. Dalam dokumen yang berjudul NYU Framework 2031 yang disusun pada tahun 2008 silam, NYU memang menegaskan dan menjanjikan bahwa mereka akan bekerja sama dengan New York sebagai bagian integral yang tidak bisa dipisahkan.

Dokumen tersebut menjabarkan seberapa jauh NYU bersinergi dengan industri, lembaga, dan pemerintahan New York, dan memberi target untuk mengukuhkan kerja sama tersebut agar lebih baik dan berkelanjutan di masa depan. Pemerintah kota New York mendukung prasarana untuk kampus dan lapangan kerja di lembaga-lembaga yang berada dalam yurisdiksinya.

Namun sebaliknya, hubungan Unsoed dan Purwokerto belum sampai pada tahap tersebut, meskipun Unsoed termasuk sebagai universitas dengan jenis kota perguruan tinggi. Unsoed memang menopang ekonomi Purwokerto (baca=Kabupaten Banyumas) dan Purwokerto turut membantu kegiatan Unsoed, tetapi tidak jarang simbiosis ini bersifat kurang adil.

Meski Unsoed adalah salah satu entitas terbesar di Purwokerto yang mampu memberikan sumbangsih ekonomi, baik secara langsung dan tidak langsung, pemerintah setempat justru tidak kunjung menginvestasikan Unsoed dalam jangka panjang. Dalam rentang waktu eksistensi Unsoed, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyumas tidak banyak campur tangan dalam memajukan pembangunan Unsoed, sampai-sampai dukungan lahan untuk FT saja dipinang oleh Pemerintah Kabupaten Purbalingga.

Belum lagi kondisi Purwokerto yang bukan merupakan kota industri. Tidak banyak lapangan pekerjaan yang bisa ditawarkan oleh Pemkab kepada mahasiswa atau alumni Unsoed, karena daerah ini sejatinya juga bukan kawasan padat karya. Jika demikian, maka yang dibutuhkan adalah sinergi dengan beragam entitas dari dalam dan luar agar Purwokerto lebih bisa “hidup” dan mengapitalisasi semua potensi industri yang ada di sini, entah itu pendidikan, bisnis, pariwisata, dan sebagainya. Sesuatu yang sayangnya absen dari bayangan Unsoed dan Pemkab.

Mau dikatakan biang kerok dari ampasnya Unsoed itu karena salah Pemkab Banyumas sebenarnya kurang bijak juga, sebab hal ini bersinggungan dengan faktor ketertinggalan pembangunan Kabupaten Banyumas itu sendiri, khususnya Purwokerto yang hingga sekarang bak terjebak dalam limbo. Dikatakan kota bukan, tetapi kodratnya adalah kota. Purwokerto itu memang bukan kota dalam kaidah administratif Indonesia, melainkan mantan kota administratif yang kini sudah dicabut aturannya.

Sejatinya sudah ada banyak wacana untuk memekarkan Purwokerto dari Kabupaten Banyumas sejak lama. Wacana ini sebetulnya logis karena kondisi Purwokerto memang anomali ketika kawasan urban sebesar ini tidak menyandang status kota otonom. Sementara itu, kota kecil yang lebih asing di telinga publik, semacam Banjar, Jawa Barat atau Subulussalam, Aceh, yang bahkan tidak punya universitas sama sekali dan bukan juga hotspot ekonomi di daerahnya, malah ditetapkan sebagai kota otonom.

Argumen mengapa wacana tersebut alot di zaman dahulu adalah bahwa Purwokerto dan Banyumas belum siap secara sumber daya. Itu kan dulu, bagaimana dengan Purwokerto sekarang yang sudah tumbuh dengan pesat? Maka demikian, pemekaran Purwokerto dalah hal yang urgen mengingat “kota” ini sudah layak menjadi kota otonom.

Hal seperti inilah yang seharusnya menjadi fokus Pemkab Banyumas, membangun kota untuk menaikkan daya dukung Unsoed sekaligus wilayahnya, yang seharusnya sudah digencarkan sejak awal sebelum aturan pemekaran daerah otonomi baru (DOB) dimoratorium oleh negara pada tahun 2006, bahkan seharusnya jauh sudah dilakukan di masa Soeharto, ketika Unsoed masih belia-belianya.

Lagipula, sekarang orientasi masyarakat terhadap perguruan tinggi tidaklah lagi regional. Tidak seperti dulu di mana masyarakat mengelu-elukan perguruan tinggi di daerahnya agar bisa berkuliah di sana. Paradigma yang sama yang menjadi alasan utama mengapa Unsoed dibentuk. Bahkan sekarang, masyarakat daerah yang sudah punya perguruan tinggi saja malah memilih untuk merantau. Banyak mahasiswa Jabodetabek yang rela merantau jauh ke luar kota untuk menjadi sarjana ketika UI dan perguruan tinggi lain jaraknya ibarat tinggal mengesot saja.

Begitu juga masyarakat Banyumas yang tidak sedikit justru lebih menggandrungi universitas di daerah lain, seperti UGM, ketimbang berkuliah di Unsoed. Maka demikian, narasi klasik bahwa Unsoed dahulu didirikan hanya untuk mendukung calon mahasiswa asal Banyumas saja kini tidak lagi relevan, sebab boundary kedaerahan tersebut sudah pudar seiring dengan merebaknya globalisasi dan interaksi antardaerah.

Mungkin inilah faktor lain yang membuat Unsoed sulit berkembang di masanya, karena calon mahasiswa juga punya faktor preferensi di luar sisi universitasnya, yakni mencari kampus yang bagus sekaligus berkehidupan dan mengadu nasib di kota perantauan yang sesuai dengan kebutuhan mahasiswa dari luar kota tersebut. Paling tidak memiliki banyak opsi untuk bekerja paruh waktu yang hanya bisa didukung dengan geliat ekonomi yang aktif, pilihan fasilitas umum yang beragam dan memadai, dan daya dukung kota yang baik.

Bagaimana dengan Purwokerto? Sejauh mata memandang, kota ini memang tidak sebesar dan tidak semaju itu, objek terkenal di Purwokerto juga tidak banyak, hanya ada Rita Supermall, Lokawisata Baturaden, Gelanggang Olahraga Satria, dan lain-lain, itu saja.

Andaikata Purwokerto berhasil menjadi kota otonom di waktu dekat, perkembangan infrastruktur kota akan turut membuat Unsoed menjadi lebih favorable, karena Purwokerto menjadi lebih nyaman ditinggali bagi mahasiswa dalam dan luar kota. Tidak ada lagi cemoohan untuk mahasiswa di Purwokerto, terkhusus Unsoed, yang dianggap ndeso, karena stereotipe “tidak punya McDonald’s”.

V. Penutup

Lima puluh delapan tahun bukanlah waktu yang singkat. Nyatanya, kita telah menyaksikan banyak perkembangan yang terjadi pada kampus-kampus negeri di Indonesia yang kini telah bertengger sebagai universitas favorit serta digandrungi para calon mahasiswa baru.

Kompetisi seperti “10 universitas terbaik di Indonesia” adalah wujud fenomena toxic dari sistem pendidikan Indonesia yang terlalu berorientasi pada ranking, daripada perkembangan yang berorientasi pada kolaborasi dan networking yang baik seperti halnya universitas di luar negeri.

Menghadapi realitas dunia pendidikan Indonesia yang jelek dan penuh persaingan tidak sehat ini, kondisi ini menjadi tantangan besar bagi kampus medioker yang belum punya gaung besar seperti Unsoed. Peringkat Unsoed yang belum pernah menembus 10 besar kurang lebih dapat menggambarkan situasi di lapangan bahwa status dan nama Unsoed sejatinya belum setara dengan perguruan tinggi elite di Indonesia.

Jika demikian, akan menjadi mungkin Unsoed kian tergerus ketika ia disalip dan persaingan menjadi sebuah medan perang. Warga akademik Unsoed harusnya sadar akan ancaman ini. Mengejar gelar world class university bukanlah hal mudah dan tidak bisa dilewatkan momentumnya begitu saja. Kalau saja universitas lain mampu melakukannya sedari lama, mengapa Unsoed sampai sekarang belum berjuang ke sana?

Potensi Unsoed sangatlah besar untuk menjadi universitas ternama. Lahir di tahun 1963 adalah bukti bahwa Unsoed memiliki asam garam kehidupan yang sudah cukup lama. Kalau saja Unsoed sudah membuat rancangan pembangunan yang matang sejak awal-awal pendiriannya, seperti identitas dan kemapanan yang kuat, kampus dan infrastruktur yang megah dan memadai, dan penjenamaan dan sinergi untuk keberlanjutan, rasanya akan lebih mudah dan cepat untuk menjadi world class university itu.

Mungkin saja, Unsoed sudah resmi menjadi PTN BH, berdampingan bersama IPB, Undip, dan UB yang sejatinya merupakan teman-teman sebayanya. Mungkin saja, nama Unsoed sudah lama bertengger dalam jajaran perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Mungkin saja, Unsoed tidak lagi dipandang sebelah mata layaknya kampus pilihan terakhir. Segala jenis “mungkin” itu sangat bisa terjadi sekarang, jika saja rencana strategis dan kolaborasi antarwarga akademik sudah terpatri dari dulu.

“Maju terus, pantang mundur, tak kenal menyerah”—semboyan Unsoed, yang juga terpahat di prasasti pedestal Patung Kuda Jenderal Soedirman, adalah wejangan keramat bahwa Unsoed harus terus bergerak ke depan dan bersaing dengan kampus lain, tidak boleh ada kata nanti-nanti, apalagi tidak bisa. Sebagai kampus yang memegang nama pahlawan besar yang terhormat di Indonesia, sudah sepatutnya warga akademik Unsoed berusaha menaikkan derajat kampus ini menjadi lebih baik lagi.

Para “Cucu Jenderal” adalah aset dan sumber daya yang berharga bagi perkembangan Unsoed. Elemen Universitas Jenderal Soedirman dan pemerintah terkait seharusnya memberikan dukungan material dan moral serta pelayanan yang lebih maksimal agar memastikan bahwa kebutuhan Unsoed tertangani dengan baik, syukur-syukur bisa surplus.

Akan indah rasanya bila senandung lirik dari lagu “Dirgahayu Universitas Jenderal Soedirman”, lagu peringatan Dies Natalis yang diciptakan oleh mendiang Herry Soeprapto, seorang alumnus dan dosen dari Fakultas Peternakan Unsoed, seorang putra Soedirman sejati, tetap terus dapat merayakan hari jadi Unsoed dengan harapan bahwa universitas ini selalu berpangku pada semboyannya dan memberi sumbangsih bagi negeri.

Bila masa Graha Widyatama sudah dikenal sebagai pintu gerbang bagi masuknya generasi cendekiawan terbaik bangsa, maka di sanalah masa keemasan Universitas Jenderal Soedirman bisa diraih.

"Maju terus, pantang menyerah. Demi kejayaan Indonesia."

Penafian

Artikel ini merupakan kritik membangun dan opini pribadi penulis. Penulis tidak memiliki niat untuk menyinggung pihak mana pun. Hak cipta gambar pada artikel ini dimiliki oleh pencipta yang sumbernya tercantum dalam takarir.

--

--

Hanan Fahrezi

Always trying to share positive stories of life, delving new insights of the world, and advocate the betterment of living.